Minggu, 01 Februari 2009

Ekspor CPO Terganjal Isu Lingkungan

JAKARTA - Penjualan minyak sawit mentah (crude palm oil) Indonesia ke Eropa terganjal isu lingkungan mengenai carbon footprint (jejak karbon). Uni Eropa mensyaratkan sawit yang dijadikan bahan bakar nabati harus mencapai 35 persen dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun mengatakan acuan kadar 35 persen itu menggunakan perbandingan minyak sawit dengan bahan bakar energi fosil, seperti solar, dalam mengeluarkan karbon dioksida. "Biarpun minyak sawit termasuk nabati, kalau tidak mencapai 35 persen, tidak boleh," ujarnya kemarin.

Menurut dia, saat ini pihaknya sedang melakukan negosiasi dengan Jerman untuk menyelesaikan masalah itu. Derom mengatakan acuan 35 persen itu sangat sulit dipenuhi. Alasannya, apabila semua limbah minyak kelapa sawit diolah, maksimal hanya bisa mencapai 32 persen. Sedangkan pengolahan minyak kelapa sawit tanpa pengawasan hanya bisa mencapai 16 persen. "Kenapa 35 persen? Itu dari mana angkanya," katanya.

Derom melanjutkan, Indonesia mesti membuat penelitian untuk menjadi bahan pertimbangan untuk negosiasi dengan Uni Eropa. Perusahaan yang bisa memberi sertifikasi itu adalah Sucofindo. Saat ini hanya PT Musi Mas yang sudah mendapatkan sertifikasi untuk dua pabriknya di Riau. Sedangkan PT Hindoli di Sumatera Selatan masih menunggu sertifikasi.

Tentang penjualan sawit mentah, kata Derom, mengalami penurunan akibat krisis global. Produksi minyak sawit pada tahun ini diperkirakan sebanyak 20 juta ton per tahun. Konsumsi domestik sebanyak 4,5-5 juta ton per tahun. Sekitar 15 juta ton untuk ekspor. "Target ekspor tersebut sangat berat," katanya.

Menurut Derom, jika pemerintah dan Pertamina menyerap sampai 5 persen sawit untuk biofuel, pasokan dalam negeri akan naik menjadi 6,5 juta ton.

Lesunya pasar sawit dunia menyebabkan beberapa pengusaha menunda ekspansi mereka. Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia Soedjai Kartasasmita, kalangan pengusaha butuh dana tunai untuk membayar gaji karyawan dan operasional perusahaan. "Dalam situasi krisis, ekspansi direm atau ditunda," ujarnya. Kondisi itu ditambah dengan anjloknya harga sawit menjadi Rp 11 ribu per ton.

CEO Agribusiness and Foods Sinar Mas Franky O. Widjaja menyatakan pihaknya memangkas penambahan investasi industri sawitnya di dalam negeri pada tahun ini. "Kami harus lebih berhati-hati di tengah krisis finansial ini," ujarnya kemarin.

Tahun ini Sinar Mas hanya menginvestasikan sekitar US$ 100 juta. "Untuk perluasan lahan sekitar 10 ribu hektare pada 2009 di Papua dan Kalimantan," katanya. Menurut Franky, pihaknya terpaksa harus menjaga arus kas perusahaan di tengah krisis global. Tahun lalu perusahaan minyak sawit itu menginvestasikan US$ 200 juta untuk perluasan lahan 20 ribu hektare.

Pada 2006, lahan sawit yang dimiliki Sinar Mas seluas 118 ribu hektare dengan produksi 490 ribu ton. Sedangkan pada 2007 penambahan lahan 5,9 persen menjadi 125 ribu hektare. Produksi sawit naik 3,9 persen menjadi 509 ribu ton. NIEKE INDRIETTA | BUNGA MANGGIASIH

source : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/29/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20090129.155161.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar