Selasa, 31 Mei 2011

Biografi Derom Bangun

Buku tentang biografi Derom Bangun baru saja dirilis toko Buku Gramedia berjudul Derom Bangun, Memoar "Duta Besar" Sawit Indonesia. Beberapa hari lalu muncul di advertorial harian Kompas. Derom Bangun seorang yang sudah malang melintang di dunia persawitan. Ketika CPO eksport dari Indonesia ditolak oleh Eropa, ia turun tangan dan akhirnya 'aman'. Mantan Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia terakhir ditunjuk menjadi External Advisory Group oleh Bank Dunia. Setelah meraih gelar Ir dari ITB karirnya di mulai pada PT Socfindo, perkebunan sawit di Medan. Pria kelahiran desa Payung, Karo 16 Juni 1940 ini dikenal aktif dalam berbagai organisasi. Pernah menjabat wakil ketua Kadin Sumut, Ketua PII Sumut 1996, dll. Seerta telah menyelesaikan pendidikan Manajemen pada MIT Cambridge USA. Ketika karirnya di Socfindo sebagai penasehat Direksi, ia memilih pensiun dan medirikan perusahaan sendiri dengan nama PT Kinar Lapiga yang mengelola perkebunan sawit di Kec Salapian Kab Langkat serta pabrik pengolahannya sekaligus. Disamping itu beliau juga tercatat sebagai pimpinan PT Konsultan Tri Upaya.

Menikah dengan Dra Jendamita Br Sembiring dan dikarunia tiga orang anak. Tinggal di Jl Majapahit 28/136 Medan dan berkantor di Jl Merbabu No 34 B Medan. Pria yang aktif juga di kegiatan kerohanian ini biasa bergereja di jemaat GBKP Polonia ini memberikan pesan kepada orang muda: "Baurkan diri Anda dengan pemuda-pemudi dari suku lain agar merasa diri Anda sebagai Pemuda Indonesia dan akan diterima orang lain sebagai pemuda Indonesia. Serta, tunjukkan kesediaan berkorban lebih dahulu sebelum menarik hasil".

Ir. Derom Bangun: Ilmuwan atau Pengusaha?

Thursday, August 5, 2010, 11:20 AM

ITA APULINA TARIGAN/ JUARA GINTING. MEDAN. Tiga hari setelah penunjukan Ir. Derom Bangun sebagai External Advisory Group untuk penyusunan strategi minyak sawit Bank Dunia, beliau merayakan ulangtahunnya ke 60. Tepatnya 16 Juni lalu. Di malam ulang tahunnya, tokoh sawit dunia ini menerima Sora Sirulo berbincang-bincang di restauran Hotel Polonia, Medan. Pertemuan yang berlangsung akrab dan terbuka, Bangun dari Selandi (Kec, Payung, Kab. Karo) ini menjawab semua pertanyaan Sora Sirulo dengan gamblang.

SS: Apa kira-kira yang menjadi pertimbangan Bank Dunia meminta kam menjadi salah satu diantara 4 penasehat mereka untuk pengembangan sawit dunia?

DB: Kelapa sawit adalah salah satu komoditi penting dunia. Sejak 2009 Bank Dunia menghentikan pendanaan pengembangan kelapa sawit akibat tekanan dari berbagai LSM. Kelapa sawit dianggap sebagai perusak lingkungan, hutan dan satwa langka. Perkebunan kelapa sawit juga rawan konflik sosial. Bank Dunia dianggap hanya memperhatikan pengusaha. Di pihak lain, mau tidak mau, kita harus mengakui kelapa sawit adalah salah satu komoditas dunia terpenting saat ini, khususnya untuk bahan makanan. Jangankan berkurang, bertahan seperti sekarang saja produksi sawit dunia akan mengancam perekonomian dunia secara umum. Karenanya, Bank Dunia merasa perlu merumuskan strategi baru untuk pengembangan kelapa sawit. Untuk itulah saya dan 3 orang lagi ditunjuk sebagai penasehat eksternal kebiakan Bank Dunia mengenai kelapa sawit. Keikutsertaan saya dalam tim ini adalah kapasitas pribadi bukan utusan negara atau organisasi.

SS: Bagaimana tanggapan kam dengan protes dan isu-isu lingkungan yang dibawa oleh LSM berkaitan dengan kelapa sawit?

DB: Di 2006 sebenarnya sudah disepakati Moratorium Hutan. Waktu itu saya diundang oleh Greenpeace di Hotel Borobudur sebagai ketua Gapki untuk memberikan tanggapan dan pendapat. Dalam pertemuan itu disepakati soal pemanasan global adalah tanggungjawab seluruh dunia. Salah satu konsep yang ditawarkan adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Landasan konsep ini adalah bahwa negara-negara maju sudah menghabisi hutan mereka beberapa ratus tahun lalu untuk memajukan ekonominya sehingga mampu seperti sekarang ini. Untuk menjaga hutan di negera-negara berkembang, negara maju wajib mememberikan REDD supaya hutan tetap terjaga. Dalam forum itu Greenpeace memaksa agar kelapa sawit dihentikan dan tidak merusak hutan. Tentu saja penghentian tidak dapat dilakukan sebelum REDD. Saya katakan: “I don’t want to be a good boy, I’m one of the boys.” Kalimat saya ini dikutip media internasional. Bagi orang Indonesia, bahan bakar dan beras sama pentingnya. Punya beras tapi tidak punya BBM sama saja bohong. Ini juga menjadi salah satu dasar sebahagian minyak sawit digunakan untuk biodiesel.

SS: Apa kira-kira usaha dari pelaku kelapa sawit untuk mengurangi kerusakan lingkungan?

DB: Ada organisasi yang mengatur prinsip-prinsip untuk bertanam sawit, di dalamnya tergabung para stakeholder seperti pengusaa sawit, LSM dan yang berkepentingan lainnya. Namanya RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). RSPO membuat 8 prinsip berkebun sawit, 39 kriteria dan 120 indikator untuk setiap anggotanya. Diatur cara-cara terbaik untuk tidak merusak lingkungan dan tetap diadakan peningkatan produksi.

SS: Kembali kepada soal strategi sawit Bank Dunia, rumusan seperti apa kira-kira yang hendak disampaikan?

DB: Konsep yang hendak dibuat adalah strategi induk bagaimana cara terbaik meningkatkan produksi sawit tanpa merusak lingkungan. Soal ini penting sekali, jika Bank Dunia menghentikan pemberian kredit terhadap sawit, bank-bank lainnya tentu tidak akan mau mengambil resiko. Secara pribadi saya sudah bertemu dengan pemerintah kita yang diwakili oleh perindustrian, perdagangan dan pertanian. Mereka menitip pesan agar saya mendorong Bank Dunia meneruskan pemberian kredit terhadap sawit.

SS: Selain dikenal sebagai pengusaha sawit, kam juga dikenal sebagai konsultan dan banyak mewakili pemerintah kita bernegoisasi di luar negeri tentang sawit, juga sebagai pembicara di berbagai event. Bagaimana kam memandang dirindu sebagai pelaku bisnis dan seorang yang membagikan ilmunya?

DB: Hahaha... Jujur saja, saya ingin dikenal sebagai orang yang mempunyai pengetahuan bukan sebagai orang kaya. Ketika masih berkarir di Socfindo saya mengajar di Fak. Teknik USU, 4 tahun lamanya. Pengalaman mengajar menambah keahlian saya jauh ke depan. Orang-orang juga melihat saya kebanyakan sebagai ilmuwan bukan pebisnis. Nanti di tanggal 26 Juni saya mendapat penghargaan dari MOSTA (Malaysian Oils Scientist and Technology Association). Saya anggap ini hadiah ulang tahun dan saya bangga dianggap sebagai salah satu ilmuwan.

Sumber: Taboid SORA SIRULO 37 (jUNI-jULI 2010)

Derom Bangun Wakili Bank Dunia

Posted by Dedi Coky | Medan Talk On June - 16 - 2010

Derom Bangun menjadi salah satu dari empat perwakilan negara yang dihunjuk Bank Dunia untuk bidang perkelapasawitan. Sebagai “External Advisory Group” atau Tim Penasehat Eksternal ia diberi kewenangan dalam penyusunan strategi minyak sawit dunia.

Keempat tenaga ahli itu berasal dari berbagai wilayah dunia, yakni Akinwumi Adesina (Vice President, Policy & Partnerships Agra Alliance for a Green Revolution in Africa) dari Afrika, Derom Bangun (Founder And Chairman PT Kinar Lapiga) dari Indonesia, Christhoper M Wille (Chief of Sustainable Agriculture Network Rainforest Alliance) dari Amerika Serikat dan Marcello Brito (Commercial Director Agropalma Group) dari Brazil.

“Bank Dunia meminta saya bergabung sebagai Tim Penasehat Eksternal bergabung dengan tiga anggota lainnya. Tim tersebut bertugas menyusun strategi baru untuk pengembangan kelapa sawit dunia,” ucap Derom, Rabu (16/6), di Medan.

Pabrik biodiesel terancam tak beroperasi

SUWANDI
WASPADA ONLINE

MEDAN - Dari 20 industri biodiesel yang mengantongi izin di dalam negeri, baru lima pabrik yang beroperasi akibat harga produk tersebut yang cenderung mahal dari harga bahan bakar minyak (BBM).

"Harga biodisel yang mahal menyulitkan penjualan, jadi pengusaha ragu menjalankan bisnis itu. Bisa saja terancam tak beroperasi," kata Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun, malam ini.

Dari lima pabrik itu pun, yang baru menjual produknya ke Pertamina juga masih dua pabrik saja. Harga biodiesel yang mahal itu sendiri merupakan dampak dari harga bahan baku berupa crude palm oil (CPO) yang masih dan bahkan terus menguat.

Kondisi itu diakui sangat disayangkan, mengingat selain Indonesia sudah seharusnya semakin terlepas dari ketergantungan bahan bakar minyak (BBM) dari bahan baku minyak bumi yang semakin terbatas juga karena potensi yang besar untuk menghasilkan produk itu.

Belum lagi, katanya, kalau berbicara soal lingkungan dimana penggunaan biodiesel bisa membantu menekan pencemaran karena produk itu ramah lingkungan.

"Pemerintah diharapkan membuat kebijakan tentang penggunaan/pemasaran BBN (bahan bakar nabati) karena sebenarnya Indonesia mempunyai peluang besar dalam bisnis itu," kata Derom yang juga Vice President II Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Keuntungan itu mengacu pada berpotensinya Indonesia meningkatkan produksi CPO dari 21 juta-22 juta ton dewasa ini. Pemerintah, misalnya harus membuat patokan harga jual biodiesel yang relevan di pasar.

Pemerintah harus mempunyai konsep apakah harga biodiesel yang lebih mahal dari harga BBM itu bisa mendapatkan subsidi juga seperti BBM, atau ada solusi lain untuk tetap memasyarakatkan penggunaan BBN itu, katanya.

Editor: SASTROY BANGUN

Derom Bangun: The ‘roving’ palm oil ambassador

Derom Bangun: The ‘roving’ palm oil ambassador

Johannes Simbolon, The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 10/05/2010 9:35 AM
A | A | A |

Braving the rain and traffic jam, dozens of top executives from the palm industry and governmental officials rushed to the Balai Kartini convention center last Monday evening to attend a party held by one of the most well known figures in Indonesian palm oil industry, Derom Bangun.

Courtesy Derom BangunCourtesy Derom Bangun

The event was held to mark the launch of Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia (Derom Bangun: Memoirs of an Indonesian “Ambassador” of Oil Palm), a book written by Derom and historian-cum-journalist Bonnie Triyana, published by Kompas Book Publishing.

Derom’s face was glowing with pride as he shook hands with each of the guests at the lobby of the Rafflesia ballroom. Former vice president Jusuf Kalla, deputy trade minister Mahendra Siregar, deputy agriculture minister Bayu Krisnamurthi, former agriculture minister Bungaran Saragih, head of the Supreme Audit Agency (BPK) Anwar Nasution as well businessmen such as Franky Wijaya of the Sinar Mas group, Indonesia’s largest palm oil producer, all came to the party to show their appreciation for Derom’s contribution to the development of the country’s palm oil industry.

Inside the ballroom, veteran singer Bob Tutupoly sang Indonesian and English oldies while other singers and dancers performed folk songs and dances from Derom’s ethnic group, the Karo — a Batak sub-ethnic group living in the Karo highland, North Sumatra.

“I’ve never seen a man so dedicated to the palm oil industry. He is an encyclopedia of oil palm,” Kalla said in his speech.

Most people close to Derom could not agree more with Kalla’s statement. Derom is one of few people who has closely witnessed Indonesia become the world’s largest palm oil producer.

After graduating from the Bandung Institute of Technology, he worked on a palm oil plantation in the 1960s, when palm oil was only a small industry in Indonesia with an annual CPO output of less than 200,000 tons, compared with 21.6 million tons in 2009. As the industry grew, so did the role his role in the industry. Derom then established his own oil palm plantation, sat on the executive board of national and international palm oil associations, representating Indonesia in various international discussions and forums on the palm oil sector.

He never left the industry. Not only did he witness the spectacular growth of the country’s palm oil industry, but he also became one of its well-respected thinkers, and one of the important actors that help push the growth of the industry and defend it against attacks from various parties.

“Oil palm is his life,” Kalla said, adding his close relationship with Derom started in 1999 when he was minister of industry and trade under President Abdurrahman Wahid. He came to Medan, North Sumatra’s provincial capital, after hearing the Dutch government was boycotting palm oil from Indonesia to protest against a shipment of palm oil that had been mixed with diesel oil from Medan’s Belawan Port.

Investigations concluded that irresponsible companies had mixed palm oil with diesel oil to make more money. Kalla then demanded all the port’s facilities, including its test laboratory, be improved. He also sent a delegation — comprising governmental officials and palm oil executives — to the Netherlands to deliver an explanation and highlight the measures Indonesia would take to prevent such problem from reoccurring.

Having heard of Derom’s negotiating skills, Kalla appointed the former, who at the time was the chairman of the Indonesian Palm Oil Association (Gapki), to lead the delegation with members including the ministry’s director general.

“I felt appreciated but was also shocked. How could a businessman lead a delegation comprising a top governmental official?” Derom recalled.

The tireless negotiator eventually completed the assignment, and The Netherlands soon lifted the boycott. From then onwards, Kalla and his predecessors always took Derom along on their overseas trips to promote the Indonesian palm industry. He was then part of a delegation sent to Russia to secure Russian Sukhoi aircrafts for Indonesia in exchange for agricultural commodities, including palm oil.

Derom always stood up to attacks from organizations critical of Indonesian palm industry, such as Greenpeace. In 2007, for instance, he debated the ethics of converting palm oil into biofuel opposite Greenpeace and Biofuel Watch, in front of a large audience in Oxford, the UK. The audience voted in his favor after the debate. In fact, he grew accustomed to debating in international forums while studying for a master’s degree at the Massachusetts Institute of Technology.

“He helped the government find sustainable ways to develop the Indonesian palm oil [industry], as an Indonesian delegate in various international meetings in London, Brussels and Washington. In view of his diplomatic prowess in defending the interest of the national palm industry in various international forums, I call him ‘the roving ambassador of Indonesian oil palm’,” Achmad Mangga Barani, newly retired director general of plantation at the agriculture ministry, testified in the memoir.

At the age of 70, Derom is offering us a gift: A 547-page memoir that should be a must-read for anyone who wants to know about Indonesia’s palm oil history.

Minggu, 01 Februari 2009

Ekspor CPO Terganjal Isu Lingkungan

JAKARTA - Penjualan minyak sawit mentah (crude palm oil) Indonesia ke Eropa terganjal isu lingkungan mengenai carbon footprint (jejak karbon). Uni Eropa mensyaratkan sawit yang dijadikan bahan bakar nabati harus mencapai 35 persen dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun mengatakan acuan kadar 35 persen itu menggunakan perbandingan minyak sawit dengan bahan bakar energi fosil, seperti solar, dalam mengeluarkan karbon dioksida. "Biarpun minyak sawit termasuk nabati, kalau tidak mencapai 35 persen, tidak boleh," ujarnya kemarin.

Menurut dia, saat ini pihaknya sedang melakukan negosiasi dengan Jerman untuk menyelesaikan masalah itu. Derom mengatakan acuan 35 persen itu sangat sulit dipenuhi. Alasannya, apabila semua limbah minyak kelapa sawit diolah, maksimal hanya bisa mencapai 32 persen. Sedangkan pengolahan minyak kelapa sawit tanpa pengawasan hanya bisa mencapai 16 persen. "Kenapa 35 persen? Itu dari mana angkanya," katanya.

Derom melanjutkan, Indonesia mesti membuat penelitian untuk menjadi bahan pertimbangan untuk negosiasi dengan Uni Eropa. Perusahaan yang bisa memberi sertifikasi itu adalah Sucofindo. Saat ini hanya PT Musi Mas yang sudah mendapatkan sertifikasi untuk dua pabriknya di Riau. Sedangkan PT Hindoli di Sumatera Selatan masih menunggu sertifikasi.

Tentang penjualan sawit mentah, kata Derom, mengalami penurunan akibat krisis global. Produksi minyak sawit pada tahun ini diperkirakan sebanyak 20 juta ton per tahun. Konsumsi domestik sebanyak 4,5-5 juta ton per tahun. Sekitar 15 juta ton untuk ekspor. "Target ekspor tersebut sangat berat," katanya.

Menurut Derom, jika pemerintah dan Pertamina menyerap sampai 5 persen sawit untuk biofuel, pasokan dalam negeri akan naik menjadi 6,5 juta ton.

Lesunya pasar sawit dunia menyebabkan beberapa pengusaha menunda ekspansi mereka. Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia Soedjai Kartasasmita, kalangan pengusaha butuh dana tunai untuk membayar gaji karyawan dan operasional perusahaan. "Dalam situasi krisis, ekspansi direm atau ditunda," ujarnya. Kondisi itu ditambah dengan anjloknya harga sawit menjadi Rp 11 ribu per ton.

CEO Agribusiness and Foods Sinar Mas Franky O. Widjaja menyatakan pihaknya memangkas penambahan investasi industri sawitnya di dalam negeri pada tahun ini. "Kami harus lebih berhati-hati di tengah krisis finansial ini," ujarnya kemarin.

Tahun ini Sinar Mas hanya menginvestasikan sekitar US$ 100 juta. "Untuk perluasan lahan sekitar 10 ribu hektare pada 2009 di Papua dan Kalimantan," katanya. Menurut Franky, pihaknya terpaksa harus menjaga arus kas perusahaan di tengah krisis global. Tahun lalu perusahaan minyak sawit itu menginvestasikan US$ 200 juta untuk perluasan lahan 20 ribu hektare.

Pada 2006, lahan sawit yang dimiliki Sinar Mas seluas 118 ribu hektare dengan produksi 490 ribu ton. Sedangkan pada 2007 penambahan lahan 5,9 persen menjadi 125 ribu hektare. Produksi sawit naik 3,9 persen menjadi 509 ribu ton. NIEKE INDRIETTA | BUNGA MANGGIASIH

source : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/29/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20090129.155161.id.html

Upaya Peningkatan Ekspor CPO ke UE Masih Terhambat Regulasi

Kamis, 29 Januari 2009
JAKARTA (Suara Karya): Upaya peningkatan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke Uni Eropa (UE) masih terhambat peraturan terkait batas penghematan efek rumah kaca dari bahan bakar fosil dan nabati.
"Uni Eropa mewajibkan angka ambang batas sebesar 35 persen. Sedangkan bahan bakar nabati dari minyak sawit hanya mampu sekitar 16 persen. Kalau dengan pengawasan yang superketat pun, paling maksimal kita hanya bisa mencapai 32 persen," kata Ketua I Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)/Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Derom Bangun usai acara sosialisasi kegiatan International Conference & Exhibition on Palm Oil (ICE-PO 2009), di Jakarta, Rabu (28/1).
Syarat-syarat ini diajukan Uni Eropa untuk menjamin penghematan efek rumah kaca bagi minyak fosil dan nabati. Namun, kebijakan ini dapat menghambat ekspor CPO Indonesia ke pasar Uni Eropa yang masih potensial. Saat ini industri kelapa sawit menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas serta mampu menyerap 4 juta tenaga kerja. Namun dampak krisis keuangan global saat ini ikut memengaruhi kinerja industri CPO nasional.
Produksi kelapa sawit pada 2009 diperkirakan mencapai 20 juta ton. Dalam hal ini, sekitar 4,5 hingga 5 juta ton untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor sebesar 15 hingga 15,5 juta ton.
Terkait penggunaan CPO oleh produsen biodiesel nasional, Derom berharap ada upaya meningkatkan kapasitas produksi. Ini dilakukan agar industri biodiesel bisa menyerap pasokan kelapa sawit lebih banyak lagi. Penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel berpotensi menambah permintaan dalam negeri sekitar 1,35 juta ton per tahun.
"Jika pabrik-pabrik penghasil biodiesel bisa memaksimalkan produksinya di tahun 2009 ini, maka permintaan minyak kelapa sawit dalam negeri bisa meningkat," ucapnya.
Menurut Derom, produksi biodiesel Indonesia dalam setahun diperkirakan mencapai 27 juta ton. Jika jumlah kelapa sawit yang digunakan ditingkatkan sebanyak 5 persen dalam total produksi tersebut, maka itu setara dengan 1,35 juta ton kelapa sawit per tahun. "Dengan demikian, permintaan kelapa sawit dalam negeri bisa meningkat hingga 6-6,5 juta ton di 2009. Ini membuat ekspor menjadi lebih sedikit sehingga bisa mengurangi tekanan harga di pasar dunia," tuturnya.
Di lain pihak, ICE-PO 2009 yang akan digelar di Jakarta Convention Centre (JCC) pada 27-29 Mei 2009 merupakan kerja sama Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan PT Bimatama Inka dalam upaya mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan. ICE-PO 2009 akan diisi tidak kurang dari 150 gerai (booth) dari berbagai perusahaan dari dalam maupun luar negeri. "Tujuan jangka panjang penyelenggaraan ICE-PO 2009 ini adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai trade center atau pusat perdagangan kelapa sawit dan produk turunannya di dunia. Kegiatan ini juga untuk memotivasi para pelaku industri agar terus mengoptimalkan dan meningkatkan produktivitas lahan sawit," ujar Direktur Penyelenggara ICE-PO 2009 Danny R Sultoni. (Bayu)

Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=219193